![]() |
H. Iskandar Siregar Ketua DPP LDII |
MJSULBAR.COM - Seorang
pemimpin yang baik tahu bahwa ia bukan
sekadar penggubah sejarah. Ia membangun sesuatu, bias sebuah konsep, sistem, struktur,atau
yang secara fisik dapat dirasa,yang menjadi ingatan. Meskipun ingatan tak sepenuhnya utuh
tersimpa. Kadang ingatan itu melayang tertiup ditelan hiruk-pikuk gelombang
kehidupan. Tapi ingatan itu pada momen tertentu muncul, mengundang kita untuk
sejenak merenung perubahan yang terjadi dari masa ke masa.
Kini ketika dunia
luar terus melakukan konsolidasi baik dari sayap kekuasaan, politik, ekonomi, maupun
sosial budaya, mengundang nilai-nilai perubahan sebagai model untuk ditiru. Dampaknya, paling tidak seperti apa yang dikemukakan Ketua Mahkamah
Konstitusi Arif Hidayat, pada pertemuan dengan para pemimpin perusahan dan tokoh
masyarakat di Jakarta pada bulan lalu, ada gejala disorientasi. Secara
definitive, disorientasi semacam "kehilangan arah" atau kehilangan daya untuk
mengenal lingkungan.
Menurut Arief Hidayat, sebagian yang menduduki jabatan atau pun sedang menggapai kursi tanggung jawab sebagai pemegang tampuk kekusasaan orientasinya bukan pada sumpah jabatannya yang harus menjaga amanah dan jujur. Tapi yang yang terjadi adalah menggunakan jabatan itu untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongannya, yang sering melanggar aturan.
Arief Hidayat
menyampaikan persoalan itu bukan tanpa alasan. Banyak perkara yang masuk ke
Mahkamah Konstitusi, setelah dalam proses di persidangan, terungkap, bagaimana
perjalanan untuk meraih kursi sebagai pemimpin di daerah,ditempuh dengan
beragam cara yang syarat dengan kadang tidak masuk dalam akal sehat bahkan
moral dan agama. Padahal dengan perkembangan teknologi sekarang, pemimpin mudah
terpantau dan menjadi bernilai dan dinilai dan rekat yang melahirkan
pengakuan, dapatkah ia me-revitalisasi peradaban.
Karena itu, jalan utama bagi
pemimpin salah satunya adalah karakter. Karena pemimpin bakal diterpa aneka
perubahan yang tak bias dielakkan dan sering tidak terduga. Diantara
itu, seiring dengan dinamika lingkungan sekitarnya, kesalahpahaman sering terjadi
antara pemimpan dan yang dipimpin. Disitu fungsi didaktis pemimpin diuji untuk
memberi pedoman ke generasi muda.
Lagi-lagi ada persoalan karakter di situ Kini Gencar didengungkan didesakkan dan disebut sebagai "Revolusi Mental" membawa imaji melodramatik, mudah-mudahan kelak berhasil denagan heroik, sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa. Karenna diakui dan disadari pembangungan tidak hanya fisik, tapi pembangunan karakter menjadi landasan keberhasilan pembangunan itu sendiri. Itu sebabnya dorongan mengharapkan pemimpin yang berkarekter menguat. Apa bila kini tuntutan warga "bejibun" kepada pemimpin.
Saya teringat esai Frederic Bastiat, orang Perancis di abad ke-19. Ia dengan kocak menggambarkan negara yang gelagapan memenuhi tuntutan
warganya dari delapan penjuru angina. ada yang minta diatur pekerjaanya. Bikin
eksperimen untuk kuliner.bangu jalan dan kereta api. Tanam pohon di
pegunungan. Perbaiki keturunan ternaknya, kalau perlu pinjaman uang.
Disini pemimpin yang berkarakter yang dapat
diandalkan serta memiliki daya tahan menghadapi berbagai rintangan dan
tantangan, menemukan ladang pengabdiannya. Bukan model Machiavelli, yang menulis II Princpe di mana pemimpinya memang meguasa yang tegas dan efektif,dalam
menipu,menjebak,dan membinasakan mereka yang menghambat jalannya. Dalam rumusnya
Machiavelli, ia bisa memakai segala cara untuk melanggenkan kekuasaannya. Ia tak
peduli. Ia biasanya tidak mendengarkan apa yang dikatakan orang tentang dirinya.
Namun
hidup tidak hanya kekuasan. Pengalaman menunjukkan hidup juga punya tujuan yang
hakiki. Kelak semua sepak terjang didunia ini akan diminta pertanggungjawabnya
di sisi yang maha kuasa.
Kisah Khalid Bin Walid, panglima perang Islam
yang termasyhur dengan kecerdasannya, pemberani, kuat dan gagah, menjadi
pelajaran. Panglima bukanlah sosok orang gentar dan lemah jika diterpa cobaan dan
ujian. Termasuk ketika Umar Bin Khattab, sebagai Khalifah, "mencopot" Khalib dan Walib, sebagai panglima, Khalid menerimanya dengan rela dan "legawa". Karena
oriantasi Khalid bukan ingin pada "kekuasaan", tapi untuk kebaikan dan
mashalat bersama. Keimananlah dan lebih mementingkan orang banyak.
Sebagai Lembaga Dakwah, DII memiliki potensi yang bias diandalkan untuk berkontribusi
pada negara dibidang pembangunan moral dan karakter. Sesuai dengan sabda Nabi: "Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah orang yang paling bermanfaat
bagi orang lain (HR Thabrani). Disamping itu, Umar Bin Khattab, salah seorang
sahabat Nabi Muhammad SAW berkata: "Mencarilah kefahaman agama yang kuat, yang
sudah tertanam sejak dini, seorang memiliki potensi dan modal yang kuat untuk
membangun dirinya, keluarganya, bahkan membangun bangsa dan negaranya, jika kelak
diberi amanah mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin.
Sikap amanah adalah
sikap pribadi seseorang yang bias dipercaya dan menjaga kepercayaan itu, tidak
berkhianat (tidak merusak kepercayaann) dan menyampaikan hak kepada yang berhak
menerima. Thobiat amanah mendorong lahirnya perilaku bertanggung jawab, yang
dalam keseharian mewujud dalam bentuk pelaksanaan tugas pekerjaan sesuai dengan
standard dan kriteria yang dituntut.
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Perbaikilah
dirimu (sampai mempunyai budi perti yang luhur) maka manusia akan berbuat baik
padamu".
Itu sebabnya, arahan Ketua Umum LDII agar LDII menjalankan 6 Thobiat luhur
(jujur, amanah, kerja keras/mushid-mujhid, rukun, kompak, kerja sama yang baik)
sangat relevan dalam menghadapi situasi dan kondis saat ini dan ke depan. Ambil
contoh kerja sama yang baik. Sikap ini berwujud saling peduli, saling mendukung
dan memperkuat, tidak jatuh menjatuhkan, tidak rugi-merugikan, dan tidak
fitnah-memfitnah. Pentingnya kerja sama yang baik telah lama disadari oleh
pakar organisasi dan manajemen, dimana dikatakan bahwa inti manajemen adalah
bagaimana menegelola kerja sama untuk mencapai tujuan organisasi atau tujuan
yang lebih besar lagi.
Karena itu, salah satu kerja lembaga dakwah adalah "ikut
ambil bagian" bukan sebagai obyek tapi bersama-sama komponen bangsa lainnya
ikut proaktif dalam sebuah proses yang disebut membangun karakter bangsa. Wallahu
a’lam bishawab
Sumb: Nuansa Persada - Edisi April 2017