-->

Followers

Subscribe Here!

Enter your email address. It;s free!

Delivered by FeedBurner

Membangun Karakter Oleh H Iskandar Siregar

By On March 25, 2019


H. Iskandar Siregar
Ketua DPP LDII
MJSULBAR.COM - Seorang pemimpin yang baik tahu bahwa  ia bukan sekadar penggubah sejarah. Ia membangun sesuatu, bias sebuah konsep, sistem, struktur,atau yang secara fisik dapat dirasa,yang menjadi ingatan. Meskipun ingatan tak sepenuhnya utuh tersimpa. Kadang ingatan itu melayang tertiup ditelan hiruk-pikuk gelombang kehidupan. Tapi ingatan itu pada momen tertentu muncul, mengundang kita untuk sejenak merenung perubahan yang terjadi dari masa ke masa. 

Kini ketika dunia luar terus melakukan konsolidasi baik dari sayap kekuasaan, politik, ekonomi, maupun sosial budaya, mengundang nilai-nilai perubahan sebagai model untuk ditiru. Dampaknya, paling tidak seperti apa yang dikemukakan Ketua Mahkamah Konstitusi Arif Hidayat, pada pertemuan dengan para pemimpin perusahan dan tokoh masyarakat di Jakarta pada bulan lalu, ada gejala disorientasi. Secara definitive, disorientasi semacam "kehilangan arah" atau kehilangan daya untuk mengenal lingkungan. 


Menurut Arief Hidayat, sebagian yang menduduki jabatan atau pun sedang menggapai kursi tanggung jawab sebagai pemegang tampuk kekusasaan orientasinya bukan pada sumpah jabatannya yang harus menjaga amanah dan jujur. Tapi yang yang terjadi adalah menggunakan jabatan itu untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongannya, yang sering melanggar aturan. 

Arief Hidayat menyampaikan persoalan itu bukan tanpa alasan. Banyak perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi, setelah dalam proses di persidangan, terungkap, bagaimana perjalanan untuk meraih kursi sebagai pemimpin di daerah,ditempuh dengan beragam cara yang syarat dengan kadang tidak masuk dalam akal sehat bahkan moral dan agama. Padahal dengan perkembangan teknologi sekarang, pemimpin mudah terpantau dan menjadi bernilai dan dinilai dan rekat yang melahirkan pengakuan, dapatkah ia me-revitalisasi peradaban.

Karena itu, jalan utama bagi pemimpin salah satunya adalah karakter. Karena pemimpin bakal diterpa aneka perubahan yang tak bias dielakkan dan sering tidak terduga. Diantara itu, seiring dengan dinamika lingkungan sekitarnya, kesalahpahaman sering terjadi antara pemimpan dan yang dipimpin. Disitu fungsi didaktis pemimpin diuji untuk memberi pedoman ke generasi muda. 


Lagi-lagi ada persoalan karakter di situ Kini Gencar didengungkan didesakkan dan disebut sebagai "Revolusi Mental" membawa imaji melodramatik, mudah-mudahan kelak berhasil denagan heroik, sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa. Karenna diakui dan disadari pembangungan tidak hanya fisik, tapi pembangunan karakter menjadi landasan keberhasilan pembangunan itu sendiri. Itu sebabnya dorongan mengharapkan pemimpin yang berkarekter menguat. Apa bila kini tuntutan warga "bejibun" kepada pemimpin.

Saya teringat esai Frederic Bastiat, orang Perancis di abad ke-19. Ia dengan kocak menggambarkan  negara yang gelagapan memenuhi tuntutan warganya dari delapan penjuru angina. ada yang minta diatur pekerjaanya. Bikin eksperimen untuk kuliner.bangu jalan dan kereta api. Tanam pohon di pegunungan. Perbaiki keturunan ternaknya, kalau perlu pinjaman uang.

Disini pemimpin yang berkarakter yang dapat diandalkan serta memiliki daya tahan menghadapi berbagai rintangan dan tantangan, menemukan ladang pengabdiannya. Bukan model Machiavelli, yang menulis II Princpe di mana pemimpinya memang meguasa yang tegas dan efektif,dalam menipu,menjebak,dan membinasakan mereka yang menghambat jalannya. Dalam rumusnya Machiavelli, ia bisa memakai segala cara untuk melanggenkan kekuasaannya. Ia tak peduli. Ia biasanya tidak mendengarkan apa yang dikatakan orang tentang dirinya.

Namun hidup tidak hanya kekuasan. Pengalaman menunjukkan hidup juga punya tujuan yang hakiki. Kelak semua sepak terjang didunia ini akan diminta pertanggungjawabnya di sisi yang maha kuasa.

Kisah Khalid Bin Walid, panglima perang Islam yang termasyhur dengan kecerdasannya, pemberani, kuat dan gagah, menjadi pelajaran. Panglima bukanlah sosok orang gentar dan lemah jika diterpa cobaan dan ujian. Termasuk ketika Umar Bin Khattab, sebagai Khalifah, "mencopot" Khalib dan Walib, sebagai panglima, Khalid menerimanya dengan rela dan "legawa". Karena oriantasi Khalid bukan ingin pada "kekuasaan", tapi untuk kebaikan dan mashalat bersama. Keimananlah dan lebih mementingkan orang banyak. 

Sebagai Lembaga Dakwah, DII memiliki potensi yang bias diandalkan untuk berkontribusi pada negara dibidang pembangunan moral dan karakter. Sesuai dengan sabda Nabi: "Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR Thabrani). Disamping itu, Umar Bin Khattab, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW berkata: "Mencarilah kefahaman agama yang kuat, yang sudah tertanam sejak dini, seorang memiliki potensi dan modal yang kuat untuk membangun dirinya, keluarganya, bahkan membangun bangsa dan negaranya, jika kelak diberi amanah mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin. 

Sikap amanah adalah sikap pribadi seseorang yang bias dipercaya dan menjaga kepercayaan itu, tidak berkhianat (tidak merusak kepercayaann) dan menyampaikan hak kepada yang berhak menerima. Thobiat amanah mendorong lahirnya perilaku bertanggung jawab, yang dalam keseharian mewujud dalam bentuk pelaksanaan tugas pekerjaan sesuai dengan standard dan kriteria yang dituntut. 

Nabi Muhammad SAW bersabda: "Perbaikilah dirimu (sampai mempunyai budi perti yang luhur) maka manusia akan berbuat baik padamu". 

Itu sebabnya, arahan Ketua Umum LDII agar LDII menjalankan 6 Thobiat luhur (jujur, amanah, kerja keras/mushid-mujhid, rukun, kompak, kerja sama yang baik) sangat relevan dalam menghadapi situasi dan kondis saat ini dan ke depan. Ambil contoh kerja sama yang baik. Sikap ini berwujud saling peduli, saling mendukung dan memperkuat, tidak jatuh menjatuhkan, tidak rugi-merugikan, dan tidak fitnah-memfitnah. Pentingnya kerja sama yang baik telah lama disadari oleh pakar organisasi dan manajemen, dimana dikatakan bahwa inti manajemen adalah bagaimana menegelola kerja sama untuk mencapai tujuan organisasi atau tujuan yang lebih besar lagi. 

Karena itu, salah satu kerja lembaga dakwah adalah "ikut ambil bagian"  bukan sebagai obyek tapi bersama-sama komponen bangsa lainnya ikut proaktif dalam sebuah proses yang disebut membangun karakter bangsa. Wallahu a’lam bishawab

 Sumb: Nuansa Persada - Edisi April 2017


Next
« Prev Post
Previous
Next Post »