![]() |
Fadly Ibrahim |
MAKASSAR, MJSULBAR.COM - Selepas menyampaikan aspirasi pada SU MPR/DPR RI tahun 2000, saya bersama kawan sekampus berdiskusi dengan Prof Deliar Noer, Rusli Biki, Habib Ali Kwitang, DR Mochtar Naim, dan beberapa tokoh lainnya (saya lupa namanya).
Politik Islam Orde Baru menjadi topik yang dibincangkan saat itu. Diskusi berbobot dan konstruktif bagi kami yang masih berstatus mahasiswa.
Prof Deliar menilai bahwa Orde Baru adalah fase kritis pertarungan ide dan gagasan pemikiran islam. Datuk Mochtar yang berpatron pada pemikiran politik tokoh Masyumi Muhammad Natsir menganggap gerakan islam berbasis partai politik pada masa itu sulit menjadi agenda umat karena kekuasaan selalu hadir melemahkan relasi Islam dan negara.
Begitupula pesantren dan pengajian yang merupakan instrumen kultural untuk membina umat juga dipenetrasi oleh kekuasaan, sebagaimana yang dirasakan oleh Habib Kwitang. Bahkan lebih dari itu, menurut Rusli Biki (adik Amir Biki korban Tanjung Priok) Orde Baru secara terbuka menunjukkan perlakukan diskriminatif dan represifnya terhadap kelompok-kelompok Islam.
Disharmoni antara Islam dan Orde Baru adalah realitas sejarah Indonesia modern yang sulit disangkal, karena terdapat banyak fakta yang menguatkannya. Diantaranya HMI dan ormas lainnnya dipaksa tunduk pada asas tunggal Pancasila, PPP sebagai fusi ormas dan partai Islam dijinakkan, dan pembatasan terhadap akses simpul ekonomi.
Rentang 1970-1988 adalah masa lemahnya posisi tawar umat Islam, aktivis dakwah atau islam politik dibranding dengan “ekstrem kanan”, “Negara Islam”, “SARA” dan “Anti Pancasila”, padahal belum tentu Gerakan dakwah tersebut berafiliasi dengan DI/TII atau kelompok Gerakan Transnasional.
Rekayasa sosial politik dengan mudah dilakukan oleh intelejen untuk menghabisi orang-orang yang melawan arus kekuasaan. Ali Murtopo dengan OPSUS-nya merupakan invisible government yang setiap saat bisa melakukan eksekusi tanpa harus berdiskusi panjang dengan presiden. Komando Jihad, Tanjung Priok, Talang Sari Lampung adalah sederet karya intelejen Ali Murtopo.
Dalam situasi itu, Habibie yang lahir dari keluarga dengan trasidisi Islam yang kuat merasakan marginalisasi tersebut. Sehingga perlahan berupaya mengubah arah kebijakan politik Orde Baru yang sejak awal tidak berpihak kepada umat Islam.
Karenanya saat Imaduddin Abdurrahim, Dawam Rahardjo dan Syafi'i Anwar menyampaikan gagasan pembentukan wadah yang menghimpun cendikiawan muslim, ide tersebut bertemu frekuensi dengan kerisauan Habibie.
Poros intelektual kampus menilai bahwa sekalipun Habibie cukup lama berinteraksi dengan tradisi barat yang sekuler, namun ia tetap teguh pada akar keyakinannya, bereputasi nasional internasional serta dapat diterima oleh Soeharto.
ICMI kemudian lahir menjadi gerakan pemikiran dan intelektual Islam yang mewarnai pertarungan gagasan dan kekuasaan di Indonesia, rumah bagi kaum intelegensia muslim yang memiliki kemajemukan wacana pemikiran.
Lewat kerja politik-intelektual Habibie dengan sahabat cendikiawannya di ICMI, dirinya mampu mereduksi dan mengurai kelompok anti Islam diperiode akhir pemerintahan Soeharto. Orde Baru kemudian lebih akomodatif dengan kepentingan Islam.
Indikasinya adalah terjadinya dominasi kaum terdidik (intellectual booming) yang berasal dari kelas menengah kaum santri pada struktur pemerintahan Orde Baru. Ormas Islam semakin optimal memainkan peran civil society-nya karena mendapat dukungan dari pemerintah, lembaga-lembaga pendidikan Islam tumbuh menjamur, dan pesantren dimodernisasi.
Namun dalam situasi kebangkitan Islam Indonesia yang bergerak dinamis tersebut, instabilitas politik nasional mematahkan visi Islamic Futurism Habibie. Kata Ahmad Syafii Ma’arif “Habibie adalah seorang yang baik, tetapi datang pada waktu yang salah”.
Selamat jalan pak Habibie, semoga pahala dari karya dan pengabadianmu terus mengalir seperti mata air yang menghidupi banyak orang, sebagaimana pesan ayahandamu. (*)